Rabu, 09 Desember 2015

Manajemen MARAH

MARAH pun perlu manajemen.
Kali ni teringat cerita ust. Albert Nasir, seorang magister manajemen yang selalu mengelaborasikan kebanyakan ilmu manajemen dengan nilai-nilai islam. 

Dari pengalaman pribadi beliau menceritakan bahwa beliau pernah benar-benar menyesal ketika tak mampu mengendalikan marah. Suatu ketika beliau mengajak anak-anak berlibur. Di dalam perjalanan 2 bocah adik kakak yang masih usia dibawah 10 tahun itu sempat bertengkar. Setelah ditegur dengan lembut oleh ibunya mereka masih terus saja bertengkar. Lalu beliau mulai marah dan menegur dengan nada suara yang sedikit tinggi. Sehingga para bocah mengakhiri pertengkaran dengan merungut masing-masingnya. Akhirnya perjalanan tidak lagi menyenangkan. Liburan itu tak mendatangkan kesenangan seperti tujuan awal, ingin memberikan kebahagiaan pada anak-anak namun mereka tak lagi menikmati perjalanan itu.

Dari pengalaman beliau itu, lahir sepenggal kalimat penuh makna dan perlu dimaknai. "Silahkan marah, namun belajarlah menunda marahmu. Marahlah pada waktu yang tepat".

Siapa bilang menunda marah itu gampang?
Siapa bilang menahan kemarahan di hati dan memperlihatkan kehangatan itu masalah gampang?
Sulit.
Namun, yang sulit itulah yang perlu dipelajari.
Karena bila marahmu pada seseorang tumpah di sembarangan tempat, maka hasil yang diharapkan dari persaudaraan yang dibangun akan sirna dan kehangatan akan runtuh seketika.

Lagi-lagi belajar menunda marah.
Bila kamu marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah!
Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk, berbaringlah!
Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan berbaring, segera bangkit dan ambil air wudhu untuk bersuci dan lakukan shalat sunah dua rakaat!
Begitu Rasulullah mengajarkan.

Kapan marahnya?
Tenangkan hatimu, berpikir logis dan sampaikan marahmu dengan bahasa yang santun. Marahmu pun akan menjadi hikmah yang menghangatkan.

Edisi menunda marah.
Meniti jalan menuju suatu istilah "menjadi dewasa pada saat kamu dianggap kecil, menjadi yang sabar ketika suara hatimu tak didengar".

"09 Desember 2015"

Selasa, 27 Oktober 2015

Lama TAK BERSUA setidaknya ada yang DINANTI

Para jiwa-jiwa yang terpanggil jauh merantau ke negeri orang, baik dalam rangka pengabdian, mencari penghidupan ataupun sekedar menapaki tanah rantau tuk menemukan jati diri baru nan lebih mengesankan... pandanglah ke belakang dan jangan hapuskan jalan pulang. Mereka siksa dalam penantian...

Pagi hingga petang langkah itu masih saja diayunkan. Ia tak sontak menengadahkan tangan kala harusnya sudah bisa demikian. Ia hanya perlu senyummu sebagai perisa kala keringatnya mulai  mengering atau kala nafasnya tersengal-sengal karna lelah yang masih berkepanjangan...
Untukmu yang terpaut di negeri orang...

Yang paling setia dalam penantian itu hanya ia. Hanya ia, bukan orang-orang baru yang engkau temukan dan berikrar akan kesetiaan.

Ia merelakanmu pergi jauh, bukan tak terbenam dalam sedih mendalam. Tapi, itulah bukti kasih sayangnya yang harusnya tak engkau ragukan.

Tataplah wajahnya kala kesempatan itu masih ada.
Jabat dan ciumlah tangan itu kala masih bisa engkau raba, karna kesempatan itu takkan sepanjang masa bukan??

Kembalilah selagi kesempatan itu terbuka.
Peluklah selagi raganya masih dapat engkau rangkul.

Tak perlu pulang dengan mobil mewahmu, jas kebanggaan apalagi dikelilingi ajudan di kiri dan kanan. Ia menanti kepulanganmu saja bukan bawaanmu yang pasti merepotkan. Kepulanganmu dengan wajah berseri cerminan bahwa engkau bahagia di tanah rantau sudah lebih dari segalanya baginya.

Walau tekadmu sukses yang akan mengantarkanmu kembali, apa engkau dapat menjamin bahwa ia masih akan bisa tersenyum di depanmu kala engkau larut dalam cerita panjang perjuanganmu itu?Entahlah. Bisa jadi hanya sebuah batu persaksian yang akan engkau sesali. Batu nisan. 
Atau mungkin bila usiamu tak lebih lama dari masa hidupnya. Akankah engkau hadiahi penantiannya dengan jasad tak bernyawa? Naudzubillah. Jangan sampai.

Siapa ia ...?
Ia hanya insan yang setia dalam menanti.
Ia hanya insan yang tak memintamu tuk berkorban banyak selain membanggakannya.
Yaaah, sekali lagi hanya ia yang selalu larut dalam doa tuk senyummu sepanjang masa.

Ia yang selalu bergumam lirih,
"Telah lama kita tak bersua nak. Pulanglah! Kami dalam penantian".

Untukmu orang tercinta sepanjang masa.

Our beloved parents (orang tua kita)

Mari temui mereka selagi ada kesempatan.
Usianya tak dalam genngamanmu, tetapi dalam genggamanNya.
Yang bisa jadi datang kala engkau tertawa riuh bersama sohibmu di tanah berbeda.
Jangan sibukkan dirimu dengan aktivitas yang pasti takkan menemui titik akhir. itu hanya akan melelahkanmu, sementara ia terus larut dalam penantiannya.



Senin, 12 Oktober 2015

HIJRAH is Move ON, Right…?


 “Tak terasa esok malam kita akan berjumpa pula dengan tahun  baru yaah”, ucap Hana dalam gumamnya.
“Maksudmu apa? Sekarang kan masih bulan Oktober Hana. Lihat nih kalender. Kamu mimpi atau menghayal?”, jawab Lulu dengan nada sedikit nyengir.
“Aku tak bermimpi, aku tak menghayal  bahkan aku sedang sadar pada kualitas kesadaran yang tak perlu kamu ragukan”, jawab Hana lagi.
Lulu berpikir lagi, dan berucap,”Hana aku tetap yakin kalau sekarang masih bulan Oktober, udah, kamu jangan ngigau  lagi dah. Kan baru kemarin tanggal 4 Oktober peringatan hari kelahiranku, ya pastinya tahun baru masih lama. Masih 2 bulan lebih Hanaaa”.

Sadarkah kita...??

Kalau esok malam memang malam pergantian tahun alias malam tahun baru itu.
Tahun baru apa?
Kebanyakan orang hanya menyambut meriah pergantian tahun masehi, bagaimana dengan tahun baru Hijriah? Pastinya, esok malam adalah pergantian tahun baru Hijriah. Euforianya memang sama sekali tak berasa. Sebetulnya memang tak perlu euforia berlebihan atas pergantian tahun itu. Tapi, umat Islam sendiri banyak yang tak sadar atas itu.
Kalau yang bekerja pada sebuah instansi dan mengenal tanggal merah sebagai hari libur, kebanyakan kita hanya menikmati itu sebagai hari libur saja, tanpa perlu tahu dalam rangka apa. Berbeda dengan tahun baru masehi yang kebanyakan orang mempersiapkan untuk menyambutnya. Sebetulnya, menurutku tak ada yang perlu dianaktirikan dari keduanya. Toh kita adalah manusia yang hidup dalam peradaban dunia dan peradaban Islam. Namun, jangan berlebihan. Ambil hikmah di balik itu semuanya. Cukup seperlunya saja.
Tahun Hijriah adalah perhitungan tahun yang dimulai sejak Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah. Sejak itulah Islam mulai meniti kejayaannya dan mendunia sebagaimana saat ini. Lalu, apa yang dapat diperbuat dalam rangka menyambut tahun baru Hijriah ini? Perlukah menyediakan terompet, kembang api dan segala macamnya? Tidaklah penting, maknailah berhijrah…!!
Hijrah tak mesti pindah secara fisik seperti yang dahulu dilakukan Rasulullah saw. Berhijrahlah dengan menjadi lebih baik, berhijrahlah dengan menjadi pribadi yang tangguh dan kuat, berhijrahlah dengan kebulatan tekad akan masa depan yang lebih jaya. Dan berhijrahlah untuk pilihan A, B, C,D, E dan seterusnya dalam hidup kita masing-masing …
“hijrah is move on
welcome to 1437 H




Jumat, 09 Oktober 2015

Masa berjerebu; ASAP DI LANGIT JAM GADANG


Semua makhluk bernyawa butuh udara dalam kehidupannya, baik manusia, hewan dan tumbuhan. Namun, tak sekedar udara saja. Udara yang mendukung kehidupan dengan baik adalah udara bersih. Lalu dimana udara bersih itu kini? Sedang bersembunyi malu-malukah ia? Atau sedang bernostalgia di alam lainnya?  
Sumatera, kalimantan dan pulau-pulau sekitarnya tengah memutih ditutupi asap yang kotor, berbahaya, bahkan mematikan. Berbeda sekali dengan guyonanku dulu, dulu saat kabut menyelimuti kampung halamanku di setiap pagi atau sesudah hujan dengan bangga ku menyebut "Negeri di atas awan", karna kabut itu bukan kabut asap berbahaya seperti sekarang. Itu hanya kabut berupa awan yang menutupi kampungku karna berada di daerah ketinggian.
Semua orang telah berkomentar mengeluhkan kondisi ini. Sudah ribuan orang terkena dampaknya seperti ISPA, mulai dari anak-anak, dewasa hingga orang tua. Tapi seperti apa penanganan pihak berwenang dalam hal ini? Titik api makin bertambah, yang bertindak membakar hutan-hutan hijau negeri ini ditindak seperti kucing-kucingan saja. Kabut asap ini tak hitung hari lagi, tapi sudah berbulan.
Duhai pemimpin negeri ini, beginikah caramu tuk mengurangi jumlah penduduk negeri yang belum berhasil program keluarga berencana (KB) nya? Engkau biarkan rakyatmu perlahan mati dengan menghirup udara beracun. Jika semuanya mati mungkin tugasmu hanya saja menguburkan secara massal dan selesai. Tapi, ini tidak. Semua orang terjangkit penyakit yang efeknya jangka panjang, berapa juta generasi masa depan yang rusak dan sama sekali tak dapat jaminan bahwa negara yang sepenuhnya bertanggungjawab.
Persoalan negeri saat ini adalah "krisis hati nurani" menurut saya. Yang menyengaja membakar dan yang berwenang mengadili pelaku sama saja. Sekali lagi "tak punya hati nurani". Hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok.
Rasakanlah bahwa engkau bahagian dari bangsa yang satu dibawah payung bhinneka tunggal ika...!!
Rasakanlah bahwa bangsa yang engkau abaikan ini adalah bahagian tubuhmu yang sedang sakit...!!
Hentikan pembakaran liar ini, tindak pelakunya dan biarkan kami hidup berdamai dengan alam ini.
Setelah itu, silahkan urus negeri ini dengan cara mu...

Kami rindu langit biru,
"Langit jam gadang, membirulah kembali...!!"

Kamis, 04 Juni 2015

JaDul vs JaNi (Jaman Dulu vs Jaman Kini) #PART 1

Sekarang jamannya beda banget, mau tau gimana?
Yuuk ikuti huruf-huruf yang akan ku rangkai sesudah ini...
Tenang saja kawan, tulisannya gak bakal bikin kamu puyeng kok, apalagi sakit perut karena lucunya.

Ingat nggak kawan waktu kecil-kecil dulu, kamu sibuknya ngapain...
Ya pastinya sibuk main ini, main itu bukan ...
Tapi apa permainanmu dulu?

Kelereng?
Yah, pastinya kelereng salah satu permainan yang mengasyikkan. Rata-rata anak-anak seusia aku dulu ikut bermain itu. Tanpa terkecuali juga kamu yang lagi baca bukan? (Hihi. Jadi ingat memori itu lagi nih)
Halaman sekolah berubah menjadi lapangan penuh lobang. Ketika jam  istirahat sekolah tiba, berlarian keluar kelas tuk memperebutkan lobang-lobang tersebut. Yah, sekedar tuk bermain.
Permainan itu yang membuat kita sering tertawa, bahagia dan pastinya juga ada yang bertengkar. Tapi sensasinya itu beda banget lho.

Lalu kalau musim main kelereng sudah berakhir (emang musim buah-buahan, hehe) muncul lagi musim permainan lainnya. Main kajai (istilah minang punya) atau disebut juga main tali, main andok-andok an (petak umpet), main bola kasti, kejar-kejaran dan banyak lainnya.
tapi, sensasinya itu beda banget lho.

Lalu, kamu masih ingat juga nggak. Berapa kali dalam setahun dapat berkodak ria masuk kamera? Jawabannya pasti jarang banget khan?
Jangankan kenal selfie-selfie ala jaman kini. 
Dapat bagian sekali klik aja mah senangnya bukan main, udah nggak sabaran lihat hasilnya. Sering ditanyain kapan dicuci (dicetak). Parahnya lagi tu foto malah nggak jadi alias hangus. haha. Tapi sadarkah kawan foto-foto kita dulu itu dalam banget maknanya buat kita, tak sama seperti sekarang ini. Bisa foto apapun moment sepuasnya tapi sensasi nya itu beda banget lho.

Beda banget kan yaa JaDul vs JaNi... ??
Hahaha.... 

Kamis, 28 Mei 2015

Pelangiku, pelangimu dan pelangi kita

Kamu hidup, aku juga ...
Kamu makan, aku juga ...
Kamu berkarya, aku juga ...
Kamu tersenyum, aku juga ...
Kamu menangis, aku juga...
Dan begitulah aku-aku  yang lainnya.

Bedanya,
Aku hidup di dunia ku sendiri, caraku sendiri, dan tentunya atas skenario Rabb kita.
Aku makan sesuai selera ku, enak nggak enak versi lidahku, yang pasti itu rezki dari Rabb  kita
Aku berkarya sesuai bakatku, peduli apa dengan bakat yang lain. Dipaksakanpun hasilnya bakal nol besar...  betul bukan? Tapi yang pasti bakatmu dan bakatku sumbernya satu, dari Rabb kita.
Aku juga tersenyum. Tebar salam, senyum dan sapa pada siapa saja (namanya juga pelayan bagi siapa saja. Hehe...). Tapi, apakah senyum kita sama? Jelas saja tidak, yang sama hanya pemahaman kita kalau senyum itu ibadah, sumbernya dari siapa? Ya pastinya Rabb kita .
Aku juga menangis, bukan karena cengeng atau tak dewasa, tapi karena airmata yang tlah tercipta tuk membersihkan indera sepenting mata,
Lantas itu semua skenario siapa,  ya Rabb kita.

Lagi lagi Rabb kita,
Ia ciptakan aneka rasa, aneka warna, dan aneka lainnya yang melahirkan anekaragam.
Hingga perbedaan lah yang menyatukan jutaan jenis ciptaanNya.
Lalu, masih ada yang mau terus terusan menghabiskan energi tuk menghujat ini dan itu karena tak sejalan dengan pikiran sendiri?
Ya sudahlah, tutup buku aja kalau maunya begitu...  bentang tikar lalu tidur.
Dan larutlah dalam mimpi semumu...  hingga siang tak lagi menjamah masa mu.

Hidup itu bagai pelangi kawan, indah karena warna warninya...

Senin, 16 Maret 2015

Caraku Memandang Hidup



Jalani, nikmati dan maknai Hidupmu

Ketika seorang manusia berpikir hidup itu susah maka seluruh item dalam tubuhnya akan mengikuti kata-kata itu. Serba susah akan merongronginya. Ibarat kawanan lebah yang sibuk mengejar seekor binatang lainnya yang tak sengaja menyinggung sarangnya. Tak jauh berbeda ibarat seekor buaya lapar yang melihat mangsa lalu lalang di depan matanya. Susah dan susah selalu membekas di setiap rangkaian kata-katanya. Susah dan susah selalu tampak dari tindak tanduknya. Dan begitulah seterusnya.
Hidup itu memang membuat setiap orang tak tenang. Laksana air laut yang selalu bergelombang. Pergerakannya seringkali menimbulkan kegamangan. Hendak maju, ragupun datang. Tapi mau tak mau, suka tak suka semua itu harus dijalani, dinikmati dan dimaknai.
Belajar menjalani hidup, menikmati romantikanya serta memberi makna di setiap sudutnya adalah tanggungjawab setiap manusia. Tak ada orang lain yang akan bisa mensetting kehidupan individu lainnya melainkan hanya andil dari pemilik pribadi itu sendirilah yang menentukan. Pihak luar hanyalah sebagai pelengkap yang menambah cita rasa dari kehidupan itu. Mustahil berharap bahwa saya ingin begini dan begitu tapi tak memulai dari diri sendiri.
Saya sendiri memahami itu tidaklah mudah. Tak semudah merangkai kata-kata layaknya penyair ulung yang tengah bercengkrama dengan imajinasinya. Tapi, apa hendak dikata? Mundur hanyalah kemustahilan, diam di tempat hanyalah kebodohan. Pilihan tepat hanya satu. Memilih untuk tetap bergerak dan menatap masa depan. Ya, itulah pilihan tepat yang harusnya dipegang di setiap helaan nafas setiap manusia.
Sehelai daun tak akan muncul jika sang akar tak berusaha menggerogoti tanah yang senantiasa mengapitnya. Mustahil kembang pun akan mekar mewangi tanpa upaya keras sang akar tersebut. Dengan demikian, mustahil juga bagi setiap manusia memperoleh impiannya hanya dengan duduk manis tanpa berpikir dan berusaha mewujudkannya. Sayapun baru mulai belajar mengatakan bahwa “itu tidaklah sulit” dan ikhlas di setiap langkah yang diayunkan mudah-mudahan memberi pelajaran bagi saya bahwa hidup itu harus terus dijalani, dinikmati dan dimaknai.